Halaman

BLOG KERANA MANISNYA EPAL

BLOG KERANA MANISNYA EPAL

Jumaat, 10 Disember 2010

DIA YANG MAHA SEMPURNA

 Kehidupan dunia ini merupakan tempat ujian bagi manusia. Siapa yang berhasil maka dia akan merengkuh piala kebahagiaan kelak di surga, dan siapa yang gagal akan menyesal dan merana di neraka. Bentuk ujian tersebut tidak hanya berupa kesengsaraan, kesedihan, kekurangan, namun juga kemudahan, kesuksesan, kekayaaan dan semacamnya. Paradigma sepeti ini kurang begitu dipahami oleh sebagian kaum muslimin saat ini. Mereka kebanyakan memahami bahwa ujian hanya identik dengan kesengsaraan duniawi. Sehingga banyak terjadi kesalahan sikap dalam menghadapinya.
Kesalahan fatal yang sering terjadi adalah bentuk penggugatan terhadap Allah yang kadang biasa menjadikan pelakunya. Pernyataan yang keluar bukan lagi sebuah pengaduan keluh kesah, tetapi seolah-olah meminta keadilan Allah dalam permasalahannya. Mengaggap Allah tidak adil dengan menimpakan bala` (kesusahan kepadanya). Kelompok ini selalu mengkaitkan semuanya kepada Allah tanpa melihat sebab musababnya. Kadang terbawa perasaan, seperti dirinya telah banyak melakukan ketaatan dan amalan-amalan sunnah. Hingga, merasa tidak pantas mendapatkan ujian tersebut. Rasa husnuzhzhan pada dirinya lebih didahulukan daripada kepada Allah. Akibatnya kurang bisa menerima dan kurang bisa berinteropeksi diri terhadap sebab musababnya, baik secara kauni maupun syar`i.
Kemudian sikap di atas disikapi kelompok lain dengan pernyataan bahwa semua bala` tidak ada kaitanya dengan Tuhan, tidak terkait dengan kecintaan dan kemurkaan Tuhan. Mereka menggap salah jika sampai menggugat Allah dalam perbuatan-Nya. Kelompok ini menganggap bahwa bencana terjadi secara alamiah. Bencana diklaim sebagai bencana alam biasa, dan hanya sebagai ”arena” pendewasaan agama (yang berujung pada revisi syariat). Kelompok ini menafikan kekuasaan Allah dalam setiap gerak alam semesta.
SIKAP IDEAL
Sementara, bagi seorang muslim sejati akan menyikapinya dengan sangat indah. Ketika tertimpa bencana, akan mengembalikan semuanya kepada Allah. Dari lisannya terucap istirja` kemudian ridha atas takdir yang menimpanya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 156-157, ”(yaitu) orang-orang yang apabila tertimpa musibah, mereka mengucapkan, ’Innalillaahi wa inna ilaihi raaji`uun’. Mereka itulah orang yang mendapatkan keberkatan sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Hamba yang mengucapkan ’Innalillaahi wa inna ilaihi raaji`uun’ (istirja`), akan merasa dan mengerti benar bahwa dirinya adalah hamba-Nya, yang mana Allah berbuat sekehendaknya dan Allah tidak akan menyia-nyiakan sesuatu pun dari makhluk-Nya.
Namun sikap tersebut tidak melupakannya untuk intropeksi diri akan sebab-sebab musibah yag terjadi. Karena, bagaimanapun semua musibah terjadi disebabkan oleh manusia itu sendiri. Sebagaimana Allah berfirman, ”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manuisa, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar Rum:41).
Dalam Tafsir Ibu Katsir disebutkan bahwa barangsiapa mendurhakai Allah di muka bumi, maka ia telah membuat kerusakan di muka bumi, karena perbaikan di langit dan di bumi adalah dengan taat kepada-Nya.
BAHAYA SIKAP MENYIMPANG
Idealitas sikap di atas kadang susah ditemui, walau pada mereka yang terlihat intelektual. Bahkan intelektual tersebut terlihat lebih bodoh dibanding orang awam. Hal ini nampak dari pemikiran mereka yang sangat rumit tetapi ujung-ujungnya adalah kehampaaan dan kebingungan tiada tara. Sebagai contoh yaitu bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh. Mereka menganggap bahwa bencana tersebut tak lebih dari bencana alam belaka, tanpa adanya kekuasaan Allah dalam kehedak dan perbuatan-Nya. Sehingga tidak tepat mengatakan bahwa bencana itu sebagai hukuman Tuhan. Begitu pula mengalamatkan bencana tersebut sebagai kecintaan Tuhan. Bencana terjadi karena gejala alam belaka, tidak ada kaitan dengan kemurkaan dan kecintaan Tuhan.
Terlepas dari kondisi masyarakat Aceh sebagai kaum yang taat atau yang fasik, ada satu hal yang perlu dicerati, yaitu sikap penolakan terhadap sikap sifat Allah (murka dan mencintai) dengan berbagai alasannya. Padahal penolakan sepeeti ini dapat berakibat fatal disebutkan bahwa barangsiapa meniadakan dari-Nya (satu atau beberapa) sifat atau nama yang Dia tetapkan untuk diri-Nya maka ia telah kafir dan barangsisapa yang menyerupakan asma-asma dan sifat-sifat Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluk, maka dia juga telah kafir atau musyrik. Sebab dia berada di antara mendustakan Allah dan berdusta kepada-Nya. Sedangkan keduanya merupakan kekufuran yang hina dan kezhaliman yang besar.
KESEMPURNAAN SIFAT ALLAH
Ketika terjadi penolakan maupun takwil sifat Allah, maka telah terjadi sebuah tasybih atau tamtsil atau takyif. Maksud tasybih dan tantsil kurang lebih sama yaitu menyerupakan sifat-sifat Allah dengan makhluk. Sedangkan takyif adalah keyakinan bahwa sifat Allah demikian dan demikian, bisa divisualkan.
Kadang orang yang menakwil sifat-sofat Allah karena ingin selamat dari dari menyerupakan Allah dengan makhluk. Dia faham bahwa meneyerupakan Allah dengan makhluk adalah kezhaliman dan dosa yang sangat besar karena merendahkan keagunganNya. Sebagai contoh, sifat Allah murka. Mereka akan memandang sifat ini adalah kekurangan bila dinisbatkan kepada Allah. Ia melihat dari murkanya makhluk yang kadang menghilangkan keadilan dan kehormatan dirinya. Maka mereka pun akhirnya menolak sifat tersebut karena tidak ingin menyatakan Allah dengan makhluk-Nya.
Padahal sifat-sifat Allah semuanya sempurna ditinjau dari segala aspeknya. Kesempurnaan ini dapat dibuktikan dari beberapa cara yaitu wahyu, akal, dan fitrah. Secara wahyu, Allah berfirman, ”Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi, dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”, (QS An Nahl: 60)
Secara akal, telah terbukti dengan indra dan fakta bahwa sebagian makhluk ada yang mempunyai satu/beberapa sifat sempurna. Kesempurnaaanya ini tidak lain datangnya dari Alah. Jika demikian maka Dzat yang memberi sifat sempurna tersebut lebih pantas memiliki sifat-sifat sempurna. Dan diketahui juga bahwa di antara sesama makhluk ada yang mempunyai sifat sama, tetapi berbeda dalam kesempurnaannya. Dengan demikian Allah tentunya mempunyai sifat yang sempurna dan kesempurnaannya tidak sama dengan makhluk-Nya. ”Tidak ada sesuatu pun yang yang serupa dengan Dia.” (Asy Syura:11)
Sedangkan secara fitrah, manusia akan mencintai mengagungkan dan menyembah Allah. Juga tidak akan mau mencintai, mengagungkan dan menyembah dzat yang tidak mempunyai sifat kesempurnaan.
Perlu dipahami bahwa jika ada sifat yang sempurna di satu keadaan dan mengandung kekurangan di keadaaan lain, maka kita menisbatkan sebagai sifat Allah menjadi kesempurnaan-Nya dan menolaknya ketika menjadi sifat kekurangan bagi-Nya. Sifat-sifat itu akan menjadi sifat sempurna bagi Allah ketika sifat tersebut dilakukan untuk membalas orang yang melakukan perbuatan yang sama. Karena secara langsung menunjukkan kemampuan Allah untuk membalas musuhnya dengan perbuatan yang sama atau lebih baik lagi. Dan sifat itu menjadi kekurangan bagi Allah ketika sifat tersbut dilakukan tidak dalam keadaan itu. Sebagai contoh tercantum dalam firman Allah, ”Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka”. (an Nisa’: 142)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Alah membalas tipuan orang munafik, bukan sebagai aksi Allah dalam menipu tetapi sebagai reaksi tipuan munafikin.
Dengan demikian jelaslah bahwa semua sifat Allah sempurna. Allah Maha adil dalam setiap perbuatan-Nya, dan Maha Tahu baik perkara yang tersembunyi maupun terlihat. Maka sungguh lancang jika sampai menggugat keadilan Allah dalam perbuatanNya, atau menafikan perbuatan Allah dengan prasangka buruk akan ketidak-sempurnaan-Nya. Seharusnya meyakini bahwa semua kejadian di alam ini mempunyai hikmah, dan tidak semua hikmah mampu terungkap oleh akal kita. Dengan demikian sikap taslim (menerima) merupakan keharusan untuk meraih kebahagiaan, bukan sikap kritis keblinger yang membawa kehancuran. Sebaik-baik sikap adalah mempersiapkan bekal untuk hari akhirat, bukan mengotak atik perbuatan Allah. Marilah renungkan firman Alah, ”dan tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai”. (al Anbiya:23).

Tiada ulasan:

Catat Ulasan